Friday 14 January 2011

Hari itu, suasana di Bantilang (lokasi tempat pembuatan perahu tradisional) di Tanaberu, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, berbeda dengan hari-hari biasanya. Itu karena seorang pengusaha pembuatan perahu sedang melakukan ritual untuk memulai pembangunan sebuah perahu pesanan pelanggannya.
Laut di sebelah Barat Bantilang, terlihat ombak berkejaran berlomba mencapai bibir pantai. Seolah tak ada celah bagi tanah kering yang mengantarai bibir pantai dengan Bantilang. Masyarakat di dusun tersebut menyebutnya, Boso, yang berarti air laut sedang pasang.
Semilir angin membuat suasana menjadi tenang. Dari arah timur, Sang penguasa siang, baru saja beranjak mendaki menuju titik kulminasi. Saat itu jarum jam menunjukkan waktu kisaran pukul 10.00 pagi.
Di atas lahan beratapkan daun kelapa bertopang bambu, seorang pria berpenampilan sederhana, Baso Takko, bediri tegak menghadapi sepotong balok, kayu berukuran sekitar 15 meter.
Di atas balok tersebut, terletak sebuah nampan berisi beberapa jenis kue tradisional yang sudah akrab dengan warga Kampung Tanaberu. Sepiring songkolo atau nasi ketan putih, onde-onde, gula merah, dan pisang serta dupa.
Tidak jauh dari “penganan wajib” terlihat seekor ayam jantan yang juga merupakan bagian dari kelengkapan ritual penanda awal pengerjaan pembangunan perahu tersebut.
Setelah berkonsentrasi beberapa saat, Baso Takko, annatta atau memahat balok yang terletak di depannya. Itulah pemotongan Lunas perahu atau “Kale Lopi”. Beberapa menit berselang, jengger atau pial ayam jantan yang sudah disiapkan diiris pisau tajam. Darah yang mengucur dari jengger ayam jantan itu dioleskan ke lunas yang telah ditatta atau dipahat oleh sang kepala tukang tadi.
Lunas atau kale lopi inilah yang menjadi patokan bagi pekerja dalam menyelesaikan perahu yang akan buat. Setelah ritual selesai, semuanya berjalan secara otomatis. Masing-masing tukang mengerjakan apa yang menjadi bagian dan tanggung jawabnya.
Pemilihan waktu melakukan pemotongan lunas perahu sengaja dilakukan saat air pasang berada di puncaknya, pagi hari menjelang siang. Itu sudah menjadi tradisi untuk memulai pemasngan lunas perahu atau badan perahu yang dalam bahasa setempat dikenal sebagai kale lopi.
Dan ritual pagi itu menjadi komando bagi para seniman perahu yang akan menangani pembuatan perahu tersebut hingga selesai.
Dari kale lopi yang merupakan pondasi perahu, para seniman perahu melekatkan lembar demi lembar kayu sebagai dinding hingga berbentuk perahu seperti yang direncanakan. Setelah bodi perahu terbentuk, tidak berarti tugas para seniman perahu ini usai.
Pekerjaan selanjutnya adalah memadatkan celah atau sambungan setiap celah kayu. Itu dilakukan di bagian luar perahu. Agar benang nilon dan baru (daun tipis yang diambil dari pohon ijuk) mudah masuk ke cela-cela sambungan kayu, seorang tukang memahat tipis celah bilahan kayu tersebut.
Setelah itu dioleskan lem agar kayu baru dan benang benar-benatr lengket. Sebelum ada lem seperti yang digunakan sekarang mereka menggunakan getah damar sebagai bahan perekat.
Bersamaan dengan itu tukang yang lain juga tetap melanjutkan pekerjaannya. Ada yang menyiapkan dan memasang papan untuk lantai. Setelah itu dibuat kamar di dalam perahu. Tanpa menunggu pembuatan kamar selesai, tukang lain sudah menyiapkan tiang utama sebagai penyangga layar. Begitu pula bahan yang akan dipasang sebagai anjungan.
Di saat yang sama, pengecatan badan perahu juga dilakukan, khususnya untuk bagian luar. Sambil menunggu pemasangan mesin. (rusdy embas)

0 comments:

Post a Comment