Sunday 7 April 2013

Amarah salah satu sifat yang melekat pada manusia. Kalau sifat ini sedang menguasai seseorang, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Bahkan, status seseorang kadang sudah menepi dan tak berarti apa-apa lagi, seperti yang terjadi di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar. Seorang polisi menembak sesama polisi yang pangkatnya lebih tinggi.

Dari berbagai pemberitaan yang dilansir media pascakejadian tersebut, terungkap adanya perasaan tidak puas dan cenderung terabaikan yang memicu tindakan yang bisa dikatakan nekad tersebut.

Sangat disesalkan jika benar ucapan korban terhadap pelaku yang mengatakan, kalau anaknya jatuh di lubang langsung saja dikubur saja atau kalau pun pelaku yang jatuh di lubang di depan rumah dinas pelaku. Ucapan itu tentu sangat tidak layak diucapkan seorang pemimpin. Apatah lagi terhadap “keluarga besarnya” sendiri.

Lubang yang dimaksud adalah lubang yang digali untuk keperluasan rumah sakit yang kebetulan yang berada di depan rumah dinas pelaku. Apalagi, anak pelaku sudah jatuh di lubang tersebut beberapa hari sebelumnya.

Apapun alasan pelaku, main hakim sendiri adalah tindakan yang tak bisa diterima. Tetapi apa mungkin tindakan itu diambil karena yang bersangkutan meyakini bahwa cara-cara biasa dan normal tidak bisa lagi diharapkan untuk menyelesaikan masalahnya?

Peristiwa ini hendaknya menjadi bahan evaluasi. Bahkan bisa diselaraskan dengan serangkaian peristiwa yang terjadi atau yang terkait dengan urusan penegakan hukum, khususunya terkait tugas kepolisian yang diberi mandat menjaga ketertiban umum.

Kalau persaoalan di internal saja harus diselesaikan dengan cara yang tidak lazim, maka bagaimana menyelesaikan urusan publik? Kalau polisi yang pangkatnya lebih tinggi saja bisa ditembak bagaimana dengan rakyat biasa? (Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment