Friday 3 June 2016

Mewujudkan program kesehatan gratis secara layak tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan, beberapa hari terakhir, media massa menyajikan informasi yang sungguh sangat-sangat miris. Pasien miskin diperlakukan secara tidak wajar di rumah sakit tempat mereka berharap pelayanan media. Termasuk terhadap rakyat pemegang Kartu Indonesia Sehat. Kartu yang diagung-agungkan dan diangap sakti oleh Jokowi saat mengampanyekan diri agar dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia.

Fajar Online

Berita tentang jenazah yang terpaksa dibonceng motor oleh keluarganya karena tidak bisa menggunakan ambulance rumah sakit gegara tidak punya duit sudah tidak mengagetkan lagi. Itu karena peristiwanya sudah berulang kali terjadi di daerah berbeda. Motifnya relatif sama, ambulance tidak bisa digunakan dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.

Di sebuah rumah sakit yang terletak di bilangan Jl Urip Sumoharjo, Makassar, sebuah keluarga terpaksa membonceng motor anaknya yang meninggal di rumah sakit tersebut karena tidak punya uang. Jarak yang yang harus ditempuh lumayan jauh. Makassar – Pangkajene Kepulauan. Malam hari pula. Derita Sanusi sang keluarga muda itu tidak hanya berakhir sampai di situ, istrinya yang masih harus dirawat di rumah sakit juga tidak mendapat pelayanan yang memadai.

Nurani sebagian warga sepertinya sudah menguap entah kemana. Rasa yang harusnya dirawat sebagai warisan leluhur yang menjunjung tinggi sipatuo sipatokkong, sipaka tau siakainga seolah sirna ditelan bumi. Rasa persaudaraan yang seharusnya dipelihara sepertinya sudah hilang dari kamus kehidupan sebagian orang. Semuanya menggunakan pulus sebagai ukuran. Siapa yang bisa membayar akan mendapat pelayanan maksimal.

Setelah ramai diberitakan media, nasib keluarga muda dari Kabupaten Pangkep itu sepertinya sudah berakhir. Apalagi, setelah Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Nu’mang menyempatkan diri mengunjungi pasien tersebut dan memberinya bantuan. Pemerintah Kabupaten Pangkep juga sudah turun tangan mengatasi masalah keuangan keluarga salah satu yang kurang beruntung secara ekonomi dan hidup dalam serba terbatas itu.

Setelah kasus warga Pangkep muncul lagi kasus sejenis yang dialami oleh warga Kabupaten Bantaeng di rumah sakit yang berbeda. Pangkal persoalannya tetap saja. Di rumah sakit milik pemerintah atau pun yang dikelola swasta sama saja. Ujungnya soal uang yang harus dikeluarkan pasien untuk membayar jasa pelayanan yang diberikan rumah sakit.

Data Fajar (Jumat, 3/6/2016), menyebut tanggal 27 Januari 2016, gegara tidak terdaftar sebagai peserta BPJS, Surianti yang melahirkan bayi kembar tiga ditagih biaya sebesar Rp 17 juta oleh RSUD Tenriawaru Bone. Tanggal 1 Maret 2016, Rita Juspita dikeluarkan dari ruang perawatan di RS Latemmamala, Soppeng, karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit sebesar Rp 9,7 juta. Tanggal 9 Maret 2016, Ani, pasien bersalin yang melahirkan bayi kembar dikeluarkan dari RSUD Sultan Dg Raja Bulukumba gara-gara tidak mampu membayar biaya perawatan Rp 500 ribu perhari.

Tanggal 18 Maret 2016 Hafid nyaris mengakhiri hidupnya gara-gara jamkesda miliknya ditolak RS Ibnu Sina Makassar dan harus memakai jalur umum. Yang teranyar, tanggal 30 Maret 2016, Sanusi yang putranya lahir dalam keadaan meninggal, istrinya sekarat dan butuh darah tersandera di rumah sakit lantaran tak mampu membayar biaya perawatan bayi sebesar Rp 1,7 juta.

Itu baru kasus yang terekspos ke publik. Apa tidak mungkin ada kasus sejenis yang tidak terungkap karena banyak hal. Berkaca pada sejumlah kasus yang rada-rada mirip, seharusnya sudah ada kordinasi dari pemerintah untuk mengatasi masalah seperti itu agar tidak terulang. Bukankah pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat agar bisa hidup layak?

0 comments:

Post a Comment