Wednesday 30 March 2016

Apalah arti sebuah nama, kata dramawan dan penyair kenamaan Inggris William Shakespeare. Tetapi bagi banyak orang, nama tetaplah mengandung makna yang sangat penting. Bahkan, ada yang menyamakannya dengan sebuah doa buat penyandangnya. Begitu pula nama salah satu air terjun di Malino, Kabupaten Gowa, yang penduduk lokal menyebutnya "Air Terjuan Ketemu Jodoh" yang terletak tidak jauh dari Air Terjun Takapala. Pemberian nama itu tentu bukanlah tanpa alasan. Apakah sebagian besar pengunjungnya menemukan jodohnya di lokasi tersebut? Atau dari kunjungan itu akan menjadi titik balik untuk menemukan jodohnya? Masing-masing orang akan memiliki jawaban yang berbeda.

Seorang pria bernama Dg Jarung yang ditemui di lokasi air terjun itu menuturkan bahwa nama ketemu jodoh itu disematkan dari pengalaman seseorang yang konon pernah berkunjung ke tempat itu dan meniatkan meraih sukses dalam perantauannya.

Di kedalaman sungai itu, katanya, terdapat sebuah batu yang menyerupai manusia yang sedang menengadahkan tangan seperti meminta sesuatu. Bentuknya, kata Dg Jarung, mirip dengan orang yang sedang berdoa. Dan di dekat batu itulah, sang pria yang tidak disebutkan namanya itu meniatkan keinginannya.

Dan secara kebetulan, hanya selang tiga bulan saja, di perantauan lelaki itu, sudah berhasil membeli rumah dan menemukan jodohnya. Sejak itulah air terjun tersebut diberi nama Ketemu Jodoh. Hanya saja, Dg Jarung tidak mengisahkan, proses perjuangan sang petualang mencari nafkah sehingga mampu membeli rumah hanya dalam kurun waktu tiga bulan. Dia hanya berpesan, bahwa meminta sesuatu hendaknya tetap ditujukan kepada Allah sebagai pemilik alam semesta ini. Karena hanya kepada-Nya lah tempat manusia meminta. Bukan kepada selainnya yang sama-sama ciptaan Allah.

Bagi saya, cerita Dg Jarung tentang asal muasal penamaan Air Terjun Ketemu Jodoh itu tidaklah penting. Yang menarik perhatian adalah, bagaimana agar tempat permandian itu dikelola secara benar. Salah satu tantangannya adalah jalan untuk mengkases ke lokasi itu sempit. Sangat sempit. Hanya bisa memuat satu mobil. Jika berpapasan, salah satunya harus mengalah. Menepi untuk memberi jalan bagi mobil dari arah lainnya.

Pengelolanya, entah resmi atau ilegal, memungut pembayaran Rp 3.000 untuk setiap pengunjung. Bagi pengunjung yang membawa mobil harus membayar biaya parkir Rp 10.000. Juga tanpa karcis. Biaya lain yang harus dikeluarkan lagi menjelang pulang adalah “upeti” kepada pria yang berjaga-jaga di samping lokasi tempat permandian. Dia memang tidak menetapkan besaran nilai yang harus dibayar. “Terserah kepala rombongan saja. Sekadar pembeli rokok buat kami,” katanya dalam bahasa Makassar sembari tersenyum.

Sore menjelang senja di Sabtu akhir pekan, 26 Maret 2016, ketika saya berkunjung ke lokasi itu, saya berpapasan dengan sejumlah remaja putra dan putri. Beberapa di antaranya, masih mengenakan seragam sekolah. Busana mereka basah, entah karena tidak dicopot saat mandi, atau akibat terkena air hujan yang kebetulan sore itu turun deras. Apakah para remaja itu datang untuk menemukan jodoh atau untuk memastikan jodonya dengan menjadikan air terjuan itu sebagai saksi bisu? Entahlah, hanya mereka yang bisa memastikan jawabannya.

Mau Mulai Bisnis dengan Modal Kecil? SMS ke 0813 5505 2048 - PIN 7D3F47E5

0 comments:

Post a Comment