Tuesday 12 March 2013

Pemilihan Wali Kota Makassar makin dekat. Nama-nama peminat kursi empuk pun itu makin banyak. Liat saja pohon-pohon yang di Jl AP Pettarani dan sejumlah jalan lainnya, betapa banyak warga yang masang baliho untuk menyatakan minatnya menjadi Wali Kota Makassar. Dan pohon-pohon itu pun menjadi korban. Di jejali paku tanpa ampun.

Kata orang kekuasaaan itu candu. Maka tidaklah mengherankan jika banyak yang menginginkannya. Soal cara memperolehnya tidak lagi penting bagi sebagian orang. Karena cara itu bukan tujuan, hanya proses untuk meraih mimpi sebagai penguasa. Dan demi kekuasaan, saling sikut pun menjadi hal yang lumrah.

Kunjungan berbalut silaturahmi ke berbagai komunitas pun menjadi kebiasaan baru. Termasuk ke kantong-kantong kumuh. Tempat yang selama ini tidak pernah melintas dalam pikirannya. Apalagi berniat untuk mengunjunginya.

Ini salah satu sisi positif pilkada. Mampu mengubah seseorang menjadi lebih sosial. Tidak peduli itu musiman atau lahir dari lubuk hati yang paling dalam. Yang pasti kunjungan itu memberi manfaat sesaat buat mereka yang dikunjungi. Apatah lagi jika kunjungan itu dibarengi pula dengan penyerahan sejumlah bantuan.

Untuk menarik simpati waga, biasanya janji-janji pun biasanya ikut ditebar. Soal bakal terealisasi jika ambisinya sudah sudah tercapai, hanya waktulah yang akan membuktikannya.

Rakyat sudah kian cerdas. Mereka sudah bisa memilah. Sudah mampu membedakan mana bantuan berharap imbalan dan mana pula bantuan yang benar-benar bantuan. Mereka pun sudah tahu siapa yang benar-benar dermawan dan siapa saja yang terpaksa menjadi dermawan instan.

Masih panjang waktu bagi warga Makassar untuk menilai. Sepak terjang mereka yang merasa layak menjadi menjadi Wali Kota Makassar bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan. Media massa sudah memberi banyak informasi. Baik secara tersurat maupun tersirat tentang siapa dan bagaimana perilaku mereka selama ini.(Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment