Wednesday 9 September 2015

Jangan terlalu cepat mengambil keputusan jika tak punya dasar yang kuat. Karena faktanya, nyaris tak ada satu pun keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Apalagi jika itu sudah bersentuhan langsung dengan kepentingan personal. Selalu saja ada yang merasa dirugikan. Dan akibatnya bisa diduga berpotensi menjadi pemicu sebuah aksi atau gerakan. Sadar atau tidak.

Lihatlah apa yang terjadi di SMP Negeri 2 Takalar, Senin (7/9/2015). Sejumlah murid sekolah tersebut melakukan protes. Penyebabnya, mereka tidak terima enam gurunya dimutasi dengan alasan yang kurang jelas. Padahal, konon mutasi itu dilakukan setelah masuk usulan dari kepala sekolah tersebut.

Aksi spontan anak-anak SMP tersebut seharusnya tidak disikapi secara emosional. Jangan melihat sisi negatifnya saja. Karena sebuah keberanian yang tiba-tiba muncul dalam diri anak-anak seusia mereka tentu bukan tanpa sebab. Ada ketidakpuasan di hati mereka. Dan itu tersalurkan dengan cara tidak biasa di sekolah itu. Dengan demikian, kepala sekolah seharusnya melihat insiden itu secara cerdas. Tidak menjatuhkan sanksi yang kurang produktif dan berpeluang memancing munculnya masalah baru.

Lebih baik ketidakpuasan siswa atas sebuah keputusan yang mereka anggap tidak bijaksana tersalurkan melalui cara seperti itu dibandingkan misalnya melakukannya dengan cara lain yang mungkin bakal berdampak lebih parah. Sebab bagaimana pun kegelisahan itu perlu dikanalisasi agar tidak menjadi bara dalam sekam yang justru bisa merugikan sekolah.

Setiap insiden, apapun pemicunya, harus diseleseaikan dengan kepala dingin. Tuntunan mereka bukan mengada-mengada, karena faktanya enam guru mereka memang dimutasi. Solusi terbaiknya saya kira adalah memberi penjelasan secara transparan.

Keterbukaan itu sangatlah penting. Meski harus diakui bahwa keterbukaan bukan berarti buka-bukaan tanpa batas. Membuka semuanya secara vulgar. Semuanya tetap ada batasan yang harus ditaati. Sebab meski transparansi harus dikedepankan namun harus juga diakui bahwa ada hal yang tidak patut dibuka secara hitam putih kepada publik dengan pertimbangan yang tentu bisa diterima.

Ibarat, mengenakan bikini yang nyaris semuanya terbuka, tetap saja hal vital tertutup. Repotnya, banyak yang makin penasaran terhadap hal vital yang tertutup itu dan makin bernapsu ingin melihatnya. Namun keinginan itu pasti sangat tidak boleh dibuka untuk umum. Bahkan, harus kita tentang bersama. Bukankah kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain?

Mau Mulai Bisnis dengan Modal Kecil? SMS ke 0813 5505 2048 - PIN 7D3F47E5

0 comments:

Post a Comment