Friday 21 June 2013

Aksi mahasiswa sejumlah perguruan tinggi menolak rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, masih membekas dalam ingatan. Bukan soal tuntutan pendemo, namun ekses ikutannya yang ditimbulkan patut mendapat perhatian elemen terkait.

Kehadiran anak-anak usia 14-15 tahun dalam setiap demo mahasiswa sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Itu karena mereka hadir untuk menyaksikan riuh rendahnya teriakan para pendemo dalam menyampaikan aspirasinya. Menumpahkan uneg-unegnya.

Mereka sepertinya terhibur melihat para pendemo saat bebas memaki-maki siapa saja yang mereka anggap telah bertindak bukan untuk kepentingan rakyat.

Tetapi jika kehadiran anak-anak dalam pusaran demo itu bukan lagi untuk sekadar menonton tetapi ikut terlibat secara aktif dalam aksi kekerasan, sungguh sangat menyentuh nurani. Seperti yang terlihat saat unjuk rasa berlangsung di depan kantor Gubernur Sulsel yang berujung bentrok. Kekerasan yang sangat disesalkan.

Saat itu, seorang anak yang diperkirakan berusia 14-an tahun tertangkap kamera seorang jurnalis dan dimuat media. Anak tersebut terlihat memegang ketapel di tangan kirinya dan anak panah besi di tangan kirinya.

Anak berusia tanggung tersebut membaur dengan massa dan terlihat siap-siap menyerang dengan senjata ketapelnya. Terlepas serangan itu diarahkan ke arah mahasiswa atau sekelompk orang yang mengklaim diri mewakili warga.

Tudingan sejumlah pihak yang menyebut ada kelompok preman yang ikut bermain dan memanfaatkan situasi itu mungkin ada benarnya. Dan itu sangat menyedihkan jika terkait langsung dengan tingkah pola anak yang ikut dalam kerumunan massa saat itu.

Yah… sebagai bagian dari warga yang ingin melihat kota ini aman nan tenteram hanya bisa berharap, semoga anak itu tidak tumbuh menjadi generasi yang doyan kekerasan seperti yang asyik disaksikan dan jalani.(Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment