Tuesday 5 August 2014

Soal iuran komite sekolah di Makassar, khususnya, seolah tidak pernah habis dibicarakan. Membahas soal komite seolah ibarat membaca buku yang tidak ada halaman terakhirnya. Saban tahun, isunya selalu muncul dan nyaris sama dan sebanguan dengan kasus tahun sebelumnya. Didominasi keluhan dan kecaman. Apa yang salah?

Berita yang dilansir Tribun Timur, pekan ini, yang menyebut dua sekolah menengah atas di Makassar ditengarai menahan ijazah siswanya gara-gara belum bayar iuran uang komite benar-benar sangat miris. Itu karena perbuatan tersebut dilakukan hanya dalam hitungan hari setelah pernyataan Wali Kota Makassar Danny Pomanto yang melarang mengutip iuran komite kepada siswa.

Awal membaca berita itu, saya menduga ijazah sang siswa ditahan gara-gara yang bersangkutan ikut konvoi seusai ujian akhir. Jika itu yang dilakukan justru mengimplementasikan imbauan wali kota yang sebelumnya mengancam akan menahan ijzah siswa yang ikut konvoi sehabis ujian akhir. Namun, yang terjadi justru menantang keinginan wali kota. Ijazah ditahan gara-gara uang komite.

Dan seperti biasanya, sang kepala sekolah akan berkilah bahwa informasi tersebut tidak benar. Atau paling akan membela diri dengan mengatakan, iuran itu merupakan sumbangan yang telah disepakati antara orang tua dengan komite sekolah. Sehingga tidak benar jika dikatakan paksaan.

Semua orangtua siswa juga tahu jika yang namanya sumbangan itu sifatnya sukarela. Waktu maupun nominal sumbangan yang akan diberikan oleh orangtua siswa tidak mengikat. Dan yang lebih penting dari itu, sifatnya tidak mengikat alias bukan wajib. Namun mengamati keluhan orang tua siswa dan dikaitkan dengan penahanan ijazah maka iuran itu sepertinya menjadi wajib.

Mengapa soal ini terus terjadi? Jawabannya sederhana. Tidak ada niat untuk menyelesaikannya secara tuntas. Penyelesaian yang dilakukan selama ini hanya cenderung menggeser masalah saja. Jawaban para penanngungjawab bidang pendidikan pun sangat standar. Misalnya, laporkan jika ada bukti. Atau kembalilah ke sekolah mengambil ijazahnya, jika masih dipersulit laporkan ke dinas. Bukankah itu sudah cukup menjadi gambaran bagaimana sang penanggung jawab hanya menggantung masalah?

Mengapa misalnya harus meminta lagi sang siswa kembali ke sekolah mengambil ijazahnya dalam melapor lagi jika masih dipersulit? Seharusnya, Diknas bahkan Wali Kota langsung membentuk tim khusus untuk memverifikasi informasi itu dan mencari sendiri bukti terkait dengan tindakan tidak terpuji aparat di sekolah.

Jangan menunggu laporan dari orang yang justru berkepentingan menghilangkan bukti yang dicari.*****

Awali Bisnis Bermodal Rp 635 ribu. Berminat? Hub 0813 5505 2048 PIN 7D3F47E5

0 comments:

Post a Comment