Sunday 23 March 2014

Jumat, 21 Maret 2014, Komunitas Malam Puisi Makassar menggelar gawe di Kafe Baca Makassar. Mereka ngumpul bersama mengenang WS Rendra. Sejumlah puisi karya Si Burung Merak dibacakan silih berganti.

Menjelang Magrib, sejumlah anggota komunitas Malam Puisi Makassar mulai berdatangan. Ada yang datang sendiri, ada juga yang berkelompok. Mereka mengisi kursi-kursi yang sudah ditata. Ada yang sudah saling kenal, namun ada pula yang sepertinya masih asing satu dengan lainnya. Namun bisa langsung akrab.

Mereka bercanda sambil menunggu jadwal yang sudah dirancang. Mempersiapkan sejumlah kertas bertuliskan puisi, termasuk sejumlah karya WS Rendra. Saling ledek di antara mereka juga mewarnai obrolan ringan itu. Termasuk, ketika ada anggotanya yang baru datang langsung diledek.

Ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00, pemandu memulai acara dengan mengundang tamu yang berminat membacakan puisinya. Baik karya sendiri, maupun karya WS Rendra yang menjadi topik malam itu.

Berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Pembacaan puisi malam itu, terasa lain. Bahkan, ada beberapa puisi yang terkesan “nakal”. Kendati demikian, tetap saja enak dinikmati sebagai sebuah karya sastra.

Amarah pemberontakanku yang perkasa bangkit malam ini. Wajahmu dan wajahku terkaca di keheningan. Sambil menyeberangi malam, kupanggil namamu wanitaku.

Itu sepenggal cuplikan puisi yang tersaji malam itu. Atau simak cuplikan yang berikut.

Kini aku mengerti. Takkan lagi akan meminta padamu untuk menikah denganku. Menikah padaku merusak keberuntungan. Ini bukan desah. Cintamu padaku tak pernah kusangsikan tapi cinta cuma nomor dua. Yang nomor satu carilah keselamatan. Berjuanglah untuk masa depan anakmu. Kehormatan cuma gincu. Hakikat ilmu selamat.

Yah … membaca puisi memang laksana membaca diri sendiri.

BISNISKU: Modal Kecil Hasil Memuaskan

0 comments:

Post a Comment