Sunday 9 March 2014

Puncak Pesta Demokrasi 2014 di negeri ini, tinggal menghitung hari. Jauh-jauh hari sebelumnya, para calon legislator sudah “bergerilya” hingga ke sudut-sudut kota. Membujuk warga agar bersedia memilihnya pada Hari H Pemilihan nanti. Ada yang tiba-tiba menjadi dermawan. Ada pula yang mendadak jadi religius.

Dan musibah pun kadang menjadi ajang untuk menunjukkan kedermawanannya. Tindakan yang diharapkan menjadi alasan bagi rakyat untuk menilainya memiliki empati terhadap rakyat. Bantuan mengalir untuk menunjukkan bahwa dirinya layak mendapat tempat di gedung ber- AC. Soal nanti akan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat atau tidak . Itu perkara nanti.

Tetapi coba amati secara saksama adakah caleg yang rela dan antusias menyalurkan bantuan di daerah yang terkena musibah namun bukan dapilnya? Sepertinya bisa dihitung jari. Kalau tidak bisa dikatakan tidak ada.

Kini, saling klaim pun terus mengalir. Nyaris semua legislator mengklaim bahwa perbaikan infrastruktur di dapilnya adalah karena jasanya memperjuangkan agar daerah tersebut menjadi prioritas untuk dibenahi oleh eksekutif. Cukup menggelikan.

“Jual diri” para caleg terus berlanjut. Nyaris tak ada ruang yang kosong tanpa gambar caleg. Dan hampir semua tersenyum. Kadang terlintas dalam benak saya, senyum itu seolah mengejek calon pemilih yang dianggap bisa dengan mudah diarahkan pikirannya untuk memilih dirinya.

Bukan hanya jalan-jalan protokol dan lorong-lorong sempit yang dipaksa bersolek. Dipenuhi gambar diri para calon. Halaman koran pun menjadi panggung untuk menyatakan diri sebagai yang paling layak mendapat mandat untuk duduk di kursi empuk gedung rakyat. Pokoknya, pencitraan terus berlangsung dengan berbagai cara.

Saya teringat dengan candaan seorang legislator yang tiba-tiba menyebut cash and carry. Ini merupakan jawaban spontan ketika diingatkan bahwa setelah berhasil membujuk rakyat untuk memilihnya dalam Pemilu periode lalu, dia nyaris tak pernah berkunjung lagi ke dapailnya. Apatah lagi memberi bantuan seperti yang dilakukannya ketika sedang “mengemis” agar rakyat mencoblos gambar dirinya di bilik suara pada hari pencoblosan.

Masih layakkah orang-orang seperti itu dipercaya menjadi legislator? Keputusannya kembali kepada rakyat sebagai pemilik suara. Acuannya sangat sederhana. Lihatlah berapa banyak wakil rakyat yang benar-benar bekerja untuk rakyat yang seharusnya diwakilinya? Amati pulalah berapa banyak yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya? Silakan memilih.

0 comments:

Post a Comment