Monday 1 September 2014

Ketika Pabrik Kakao baru akan dibangun di Kabupaten Gowa, beberapa tahun lalu, banyak pihak mempertanyakannya. Kenapa? Itu karena idealnya, pabrik pengolahan kakao harusnya dibangun di daerah penghasil kakao.

Sayangnya, kritik yang mengemuka saat itu dianggap angin lalu. Sejumlah teori yang mendukung penempatan pabrik tersebut di Kabupaten Gowa diapungkan. Setuju atau tidak, sudah menjadi keputusan pabrik itu harus dibangun di daerah yang sudah ditemtukan.

Lima tahun telah berlalu. Aktivitas pabrik berkapsitas 2,5 ton yang menelan dana APBN itu nyaris tak pernah terdengar oleh publik. Dan laporang hasil investigasi Fajar edisi Minggu (31/9/2014), bisa menjelaskan bagaimana kondisi pabrik tersebut. Ternyata sudah menjadi besi tua.

Tak sulit menjelaskan mengapa pabrik tersebut gagal beroperasi. Salah satunya adalah, lokasi pabrik relatif jauh dari sumber atau bahan baku kakao. Untuk pendirian pabrik seharusnya ikut dipertimbangkan soal jarak antara pabrik dengan lokasi sumber bahan bakunya. Jika terlalu jauh, bisa menjadi tidak efisien.

Jika sudah seperti itu, siapa yang harus bertanggungjawab? Hasil investigasi Fajar menyebutkan empat mesin pengolah cokelat yang terpasang di dalam bangunan pabrik konon sudah raib digondol tangan-tangan tak bertanggung jawab.

Fakta ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Jangan gegabah jika ingin memutuskan sesuatu. Anehnya, anggota dewan mestinya mengkritisi keberadaan pabrik yang menelan dana APBN sebesar Rp 17 miliar tersebut.

Kontrol seperti itulah yang seharusnya dilakukan sebagai wakil rakyat. Mempertanyakan pemanfaatan uang rakyat yang digelontorkan melalui APBN.*****

Awali Bisnis Bermodal Rp 635 ribu. Berminat? Hub 0813 5505 2048 PIN 7D3F47E5

0 comments:

Post a Comment