Tuesday 5 May 2015

Nyaris semua pegawai dan karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Haji Makassar mogok kerja. Mereka menuntut direktur utama dan jajarannya mundur. Pasalnya, manajemen dianggap tidak transparan mengelola keuangan. Ada dana sebesar Rp 5 miliar menjadi sorotan.

Ini bukan unjuk rasa yang pertama kali mereka lakukan. Bulan lalu, mereka sudah pernah melakukan hal yang sama. Aksi, Senin (4/5/2015), itu merupakan lanjutan karena mereka merasa tuntutan yang diajukan pada unjuk rasa sebelumnya diabaikan. Pegawai dan karyawan yang tiba di rumah sakit sejak pagi hari tidak langsung menjalankan aktivitas rutinnya seperti biasa, tetapi memilih berdiri berkelompok di pelataran. Calon pasien yang butuh pelayanan pun terpaksa mencari rumah sakit lain. Aksi kali ini juga lebih seru karena mereka menghadirkan peti mati. Ya peti mati, bukan keranda. Entah untuk siapa. Karena peti mati dan keranda berbeda peruntukannya. Itu jika penggagas menghadirkan peti mati itu sebagai asesoris demo menyadari makna peruntukan peti mati.

Sebuah spanduk berukuran besar terpasang di bagian atas dinding depan rumah sakit, tepat di sebelah logo dan nama rumah sakit tersebut. Di situ tertera, “Mohon maaf pegawai dan karyawan RSUD Haji Prov Sulsel mogok kerja. Harap maklum. Calon pasien harap ke rumah sakit terdekat” .

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai pemilik rumah sakit tersebut harus segera turun tangan menuntaskan akar permasalahannya. Sebab dilihat dari sudut manapun, jika demo sudah berulang, itu berarti ada yang tidak beres. Dan menuntut penyelesaian segera. Karena jika dibiarkan berpotensi menjadikan situasi makin buruk.

Jika mereka sudah berani menuntut pimpinannya mundur. Apalagi itu dilakukan secara terbuka dan menjadi konsumsi publik, itu artinya ada masalah yang mendesak dituntaskan. Sederhananya, komunikasi antara pimpinan dengan yang dipimpin kurang lancar kalau tidak ingin disebut macet. Dan itu kurang sehat dalam sebuah manajemen modern. Apalagi ini rumah sakit yang harus mengedepankan pelayanan kepada publik. Salah-salah nyawa pasien bisa jadi taruhan luar biasa. Dan itu tak boleh terjadi di tengah kampanye mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan gratis.

Permintaan yang mengiringi tuntutan mundur direktur utamanya lebih mudah dimaknai. Mereka minta ada transparansi dalam pengelolaan keuangan. Soal transparansi ini memang sangat urgen. Keterbukaan itu menang sangat penting untuk menghindari kecurigaan. Menutup peluang menebar fitnah yang keji. Meski harus juag diakui bahwa keterbukaan itu tidak boleh kebablasan dan merusak semuanya.

Dalam menerapkan prinsip keterbukaan tetap saja ada batasan atau koridor yang tidak boleh dilabrak. Transparansi di sini penting dimaknai secara bijaksana. Ibarat mengenakan pakaian renang alias bikini. Meski dengan berbikini yang membuat terbuka nyaris semuanya, namun tetap saja ada yang dilindungi. Ya … yang vital tetap saja tertutup dan itu tidak bakal mengundang pretes karena semua juga tahu bahwa yang tertutup itu memang tidak layak diperliatkan. So … urusannya menjadi gampang kan?

Kita tunggu saja akhir dari perjuangan pegawai dan karyawan rumah sakit pelat merah tersebut. Apakah tuntutan mereka akan dipenuhi semuanya atau hanya sebagian seperti ibarat berbikini? Menarik ditunggu hasil kerja mereka yang sudah ditugaskan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo untuk mengurusinya.*****

Mau Mulai Bisnis dengan Modal Kecil? Hub 0813 5505 2048 - PIN 7D3F47E5

0 comments:

Post a Comment