Friday 6 September 2013

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar membebaskan terdakwa pelaku teror dan pemboman rumah ibadah di Makassar karena tidak terbukti terlibat kasus rentetan teror bom seperti tuntuan jaksa penuntut umum.

Apapun alasan yang dikemukakan hakim terkait vonis yang dijatuhkan terhadap terdakwa, harus dihormati. Karena itulah putusan yang dianggap adil. Paling tidak itu menurut pertimbangan majelis hakim.

Jika hakim berani memutuskan bebas untuk terdakwa. Apalagi kasusnya menyangkut isu teror maka tentu sudah dipertimbangkan secara matang dan didukung alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Atas putusan tersebut, sangatlah wajar jika publik bertanya-tanya dan boleh jadi banyak yang berfikiran negatif. Apalagi, selang beberapa hari setelah terdakwa ditangkap langsung dilakukan rekonstruksi.

Bagaimana mungkin pihak kepolisian dan jaksa penuntut umum tidak menyiapkan data pendukung atas tuntutan yang diajukan terhadap terdakwa. Bukankah sudah dilakukan rekonstruksi atas kasus tersebut?

Jika pertanyaan seperti itu, mengemuka tidak berarti ada niatan untuk menyalahkan siapa pun dalam proses tersebut. Namun kasus ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya di masa datang.

Tak bisa dimungkiri, putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim bisa memunculkan sejumlah penafsiran. Apa mungkin penangkapan terhadap anak yang baru berusia 18 tahun itu dipaksakan, hanya untuk memenuhi pimpinan dan meredam menguatnya kecaman warga terhadap ketidakmampuan aparat keamanan menangani isu teror dan geng motor saat itu.

Bahkan, kasus ini bisa memunculkan penafsiran bahwa petugas lagi-lagi salah tangkap demi memenuhi target sang atasan. Apalagi, kasus geng motor ini sempat memantik perdebatan publik. Termasuk Presiden SBY yang berkicau di twitter menyatakan keprihatinannya.

Setuju atau tidak, putusan hakim harus dihargai. Apapun alasannya. Dan sekali lagi polisi harus menanggung malu atas peristiwa tersebut.

0 comments:

Post a Comment