Wednesday 17 July 2013

Bulan Ramadan tahun ini benar-benar menjadi ujian yang cukup berat. Tidak hanya diuji kesabaran dalam menjalankan ibadah Ramadan bagi kaum Muslimin, tetapi kenaikan harga barang kebutuhan juga menjadi ujian tersendiri. Jelang memasuki bulan suci ini, harga sudah bergerak naik dan terus naik.

Efek kenaikan harga BBM benar-benar membuat sebagian besar rakyat dipaksa mengencangkan ikat pinggang yang sesungguhnya sudah lama kencang. Betapa tidak, harga kebutuhan pokok nyaris naik dua kali lipat.

Hal itu memaksa ibu rumah tangga mengatur ulang anggaran belanjanya. Apatah lagi, bagi mereka yang anak-anaknya memasuki sekolah baru. Baik dari SD ke SMP, maupun dari SMP ke SMA dan yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Itu karena biaya masuk sekolah baru relatif besar.

Belum lagi jika ada sumbangan untuk sekolah yang di luar perkiraan sebelumnya. Sumbangan yang sekarang ini ramai diperbicangkan dan menjadi berita utama media massa.

Pemerintah bisa saja meniupkan angin surgawi lewat BANTUAN LANGSUNG yang di beberapa tempat justru bermasalah. Atau member hiburan tambahan bahwa harga barang kebutuhan tetap tersedia dan tingkat kenaikannya masih dalam batas toleransi.

Presiden boleh memarahi menterinya karena terlambat bereaksi. Tetapi kemarahan itu tidaklah cukup, karena harga yang sudah terbentuk sesuai hukum pasar akan tetap seperti itu. Biasanya harga barang yang sudah terlanjur naik akan sulit turun seperti sebelumnya.

Rakyat tidak butuh pimpinan memarahi anak buahnya. Yang mereka harapkan hanyalah barang kebutuhan mereka, khususnya kebutuhan primer, bisa terjangkau dengan kemampuan keuangan yang terbatas.

Alasannya meroketnya harga di pasar-pasar sederhana saja, selain memanfaatkan momentum bulan Ramadan, harga perolehan barangnya memang sudah terjadi kenaikan di tingkat pemasok. Mau tahu penyebabnya? Mudah, kenaikan bahan bakar minyak adalah pemicu utamanya nya jika tak ingin dikatakan sebagai biang keladinya.

Yang paling menderita dan merasakan dampak kenaikan harga kebutuhan tersebut tentu saja rakyat kebanyakan. Harga kebutuhan sudah naik melebihi kenaikan penghasilan bulanan mereka.

Bagi yang berpikiran positif, rangkaian derita yang datang bersamaan Bulan Suci Ramadan ini bisa dijadikan ajang untuk melapangkan dan memperluas ruang kesabaran di kalbu, sembari berharap berkah dari Yang Maha Pencipta.(Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment