Saturday, 6 July 2013

Dua bulan menjelang hari H pemilihan Wali Kota Makassar pengganti Ilham Arief Sirajuddin, tensi politik kian tinggi. Saling sindir antarkandidat sudah menjadi santapan hari-hari media. Bahkan, perliaku anarkis pendukung kandidat pun sudah mewarnai persaingan.

Juru bicara masing-masing kandidat pun saling sindir dan menjelekkan kandidat lain. Klaim diri sebagai yang terbaik pun silih berganti disampaikan oleh juru bicara masing-masing kandidat. Kata-kata yang cenderung kasar pun terucap dari mereka yang selayaknya menjadi panutan.

“Jual diri” kandidat wali kota berlangsung saban hari. Daerah yang selama ini tidak pernah dilirik kini disambangi satu demi satu. Sikap dermawan pun tiba-tiba menjadi kebiasaan baru mereka. Semua itu dilakukan demi mendapat simpati publik agar bersedia memilihnya di bilik suara September mendatang.

Dalam kunjungan ke kantong-kantong suara, mereka berlomba menebar janji akan melakukan yang terbaik untuk kemajuan daerah ini jika terpilih kelak. Tidak peduli janji itu bisa dilaksanakan atau tidak. Yang penting bisa meniupkan angin surga buat pemilik hak suara.

Janji yang mereka tebar nyaris tidak ada yang baru dan hampir sama. Cuma disampaikan dalam kalimat dan gaya berbeda. Alih-alih mengemukakan program terobosan yang akan dijalankan jika kelak terpilih menjadi wali kota. Mereka justru saling klaim telah melakukan yang terbaik.

Syahwat kekuasaan memang dahsyat. Sikut kiri sikat kanan tidak soal. Menghakimi dan menyerang orang yang tidak sepaham tidak lagi lagi dilakukan oleh kelompok yang ingin memaksakan dukungan buat jagoannya. Yang penting bisa menduduki kursi empuk kekuasaan. Soal kemampuan memimpin itu soal belakangan.(Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment