Wednesday 24 July 2013

Sisi negatif kehadiran komite sekolah terus menggelinding. Satu persatu korban yang tak sanggup menyumbang bermunculan. Setelah air mata kepala sekolah, hari ini sebuah media lokal menurunkan head line berita yang tak kalah mirisnya. Ardi Korban Seragam. Separah itukah cara kerja para pendidik yang diberi amanah memimpin sebuah sekolah?

Seorang tunas bangsa terpaksa menunda langkah untuk mewujudkan cita-citanya karena tak mampu membayar sumbangan dan harga seragam sekolah yang diidam-idamkannya. Anak sopir itu seolah pasrah menerima nasib karena orang tuanya tak sanggup membayar sumbangan di sekolahnya. Kalau sumbangan kenapa dipaksa ya?

Selain harus sanggup menyetor “sumbangan” sebesar Rp 1,5 juta, orang tua Ardi juga masih harus mengeluarkan uang senilai Rp 800 ribu untuk menebus seragam di koperasi sekolah kejuaran tersebut.

Kasus Ardi ini menambah panjang daftar ketidakberesan kerja kepala sekolah di Makassar. Meski dalam berita tersebut sudah dilengkapi bantahan sang kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan, tetap saja ada pertanyaan yang mengganjal di hati.

Kenapa kesalahpahaman itu baru muncul setelah kasusnya dimuat media? Kenapa pula keinginan membantu, tidak disampaikan kepada orang tua calon siswa itu, ketika yang bersangkutan meminta keringanan?

Kalau kasusnya sudah mencuat dan menjadi bahan berita media massa maka niat baik membantu menjadi kurang gregetnya lagi. Seakan bantuan itu baru akan diberikan jika sudah dikorankan. Atau memang itukah yang ditunggu para pengambil keputusan itu?

Bisa dimaklumi jika program pendidikan gratis yang digembar-gemborkan gubernur saat kampanye pilgub, beberapa waktu lalu, digugat oleh sejumlah kalangan. Khususnya yang merasakan langsung keharusan membayar sumbangan di sekolah yang jumlahnya bervariasi.

Itu karena di benak mereka gratis itu ya tidak ada pungutan. Termasuk yang pungutan berbalut sumbangan sukarela yang mengatasnamakan Allah.

Hanya saja, sikap skeptis seperti itu tidak bijaksana juga jika diberlakukan secara umum kepada semua sekolah. Karena tetap saja ada sekolah yang tidak mengenakan pungutan apapun kepada murid-muridnya. Paling tidak, itu tidak pernah muncul di permukaan.

Kabupaten Gowa mungkin bisa menjadi contoh kecil untuk sekolah bebas pungutan tersebut. Dari sejumlah diskusi warung kopi, nyaris tak ada orang tua yang mengeluhkan adanya pungutan bagi siswa di sekolah-sekolah di Gowa.

Konon, itu tidak terlepas dari sikap tegas pemerintah Kabupaten Gowa yang tidak akan mentolerir setiap pungutan yang dikenakan kepada siswa. Apapun alasannya. Bahkan, bupati sudah mengeluarkan ancaman sanksi yang sangat keras kepada kepala sekolah yang berani bermain-main memberlakukan pungutan bagi siswa sekolah.

Kalau Kabupaten Gowa bisa memberlakukan pendidikan gratis yang benar-benar gratis, kenapa daerah lain tidak mampu? Semoga pungutan itu bukan kreasi kolutif antara kepala sekolah dan komite untuk sesuatu yang peruntukannya samar-samar.(Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment