Wednesday 24 July 2013

Salah seorang anggota Satuan Lalulintas Polrestabes Makassar bicara terbuka. Tidak tanggung-tanggung. Dia mengaku, sebelum menjalankan tugas di lapangan untuk melakukan sweeping, konon setiap personel diwajibkan nyetor Rp 50 ribu kepada seorang perwira.

Apa kaitan pengakuansetoran wajib itu dengan operasi yang gencar dilakukan polantas di Makassar, dua pekan terakhir ini? Dalam kurun waktu tersebut, ratusan kendaraan roda dua dan roda empat terjaring operasi. Para pelanggar itu tentu saja kena tilang sebagaimana layaknya pelanggar lalu lintas.

Benar atau tidak. Pengkuan tersebut jelas makin memperkeruh wajah penegak hukum di negeri ini, khususnya bagi pengatur ketertiban lalu lintas di jalan. Apalagi, selama ini tidak sedikit warga sering mengeluhkan perilaku sebagian petugas lalu lintas di jalan raya.

Cerita tentang pungutan tidak resmi di lingkungan lalu lintas, khususu di jalan, memang sudah sering terdengar. Ambil contoh, aktivitas keseharian mereka di pos-pos polisi lalu lintas di ruas jalan utama antarkabupaten/kota. Jika diamati, nyaris semua truk yang melintas di jalan itu akan singgah di pos polisi tersebut. Meski tidak ada razia.

Anehnya, saat singgah, biasanya hanya kernek mobil angkutan barang itu yang membawakan surat-surat kendaraan bermotornya kepada petugas yang nongkrong di pos jaga. Perilaku tersebut tentu saja mengundang sejumlah pertanyaan yang mengarah ke prasangka.

Artinya, jika memang ada pemeriksaan, seharusnya yang masuk menemui petugas tentu lah si sopir. Bukan keneknya. Bahkan, sebenarnya petugaslah yang harus mendatangi mereka untuk memeriksa surat-surat kendaraan tersebut. Bukan sebaliknya.

Cerita miring itu sudah terlanjur terungkap ke publik. Pembelaan apapun yang dilakukan tak akan mensterilkan kembali cerita miring itu. Karena rakyat biasanya lebih percaya terhadap informasi yang muncul secara spontan.

Yang paling penting dilakukan dalah membenahi diri untuk perbaikan ke depan. Bisa jadi pengakuan itu merupaka puncak dari kekecewaan mereka terhadap keharusan membayar “upeti” kepada pangkatnya yang lebih tinggi.

Hampir dapat dipastikan, uang yang mereka setorkan kepada sang perwira tidak mungkin diambil dari gajinya. Karena gaji sang perwira tentu saja lebih tinggi dibandingkan dengan mereka. Akibatnya, sang penyetor akan menempuh berbagai cara untuk mendapatkan kembali pengganti setorannya itu.

Ujung-ujungnya rakyat lah yang jadi korban keganasan mereka di jalan.(Rusdy Embas)

0 comments:

Post a Comment